Aceh TimurOpini

Pesta Demokrasi Transaksional dan Pembodohan

318
×

Pesta Demokrasi Transaksional dan Pembodohan

Sebarkan artikel ini

Linear.co.id | Aceh Timur – Terllhat mulai dari kota dengan gemerlap lampu warna – warni, sampai pinggiran desa yang masih temaram karena lampu penerangan jalan padam, Pemilihan Umum (Pemilu) digaungkan dengan riuh rendah sebagai pesta demokrasi rakyat.

Riuh rendah Pemilu itu di kumandangkan KPU lewat lagu bermusik rock yang membuat para pecinta dangdut kadang iri. Ditambah semarak gambar-gambar para Caleg di persimpangan sebagai tongkrongan anak-anak muda pengangguran menunggu harapan cerah.

Poster, spanduk dan baliho dipaku di batang-batang pepohonan sehingga daun – daunnya enggan menari-nari ditiup angin karena merasa tersakiti akibat ulah manusia yang tidak menganggap bahwa pohon juga makhluk hidup.

Saat masa kampanye tiba, harga kebutuhan pokok masyarakat sudah lebih dulu melambung bagai balon gas putus tali. Selanjutnya, berbagai janji -janji bertebaran di ladang-ladang kerontang yang sengaja dipaksa supaya ecek-ecek subur karena ditabur pakai pupuk transaksional.

Ratusan warga di gang – gang sempit, kumuh dan sesak siap menanti apakah ada transaksional. Ketika kabar itu menyebar, siap antri di ruang-ruang gelap dan samar serta becek, berbaris tanpa alas kaki untuk mengganti suara menjadi beras.

Sangat lumayan sebagai pengganjal perut anak istri agar tidak perih dan tidak lagi seperti gendang bila ditabuh karena lapar. Sehingga, malamnya mereka tidur nyenyak meski beralas tikar lusuh. Untuk sementara, lupa tentang bagaimana dan apa yang dapat di makan esok hari.

Semakin dekat hari pencoblosan pada 14 Februari 2024, dinamika yang terjadi pun semakin berkembang, bahkan issu yang merebak di kabupaten Aceh Timur

Padeum Ibie Peng”, tingkat DPRK di bandrol dengan harga 100.000 persuara, sedangkan untuk DPRA dibandrol mulai dari 200 hingga 300 ribu rupiah.

Sementara, akibat salah kalkulasi transaksional, kerut kening Caleg bermodal pas-pasan bertambah kusut. Masalahnya persediaan “amunisi”     telah menipis. Karena terlanjur kadung, terpaksa harus cari amunisi dengan cara menggali lobang.

Kalau transaksional berhasil “membeli” kursi empuk tempat duduk, tak terlalu berat peras keringat untuk menutup lobang. Kalau tidak? lobang pasti semakin menganga dan siap menjebak. Selanjutnya, Caleg gagal tak bisa tidur nyenyak dan makan tak enak.

Karena, nasi sudah jadi bubur basi dan tidak bisa lagi diolah menjadi lontong sayur, penyesalan datang juga di belakang. Sehingga satu penyakit kompak mengajak penyakit lainnya untuk membangun kerajaan komplikasi dalam tubuh yang hanya tinggal kulit pembalut tulang.

Lantas, politik dibilang kejam. Padahal, sangat tidak bijak kalau kakeknya, kakek temannya teman saya mengatakan jangan dekati politik. Karena, kakeknya kakek temannya teman saya itu pernah hidup di zaman penjajah yang melarang anak jajahan berpolitik sebagai upaya menghambat pergerakan dan membungkam suara untuk menuntut kemerdekaan.

Sejatinya yang kejam bukan politik. Tapi, pelaku politik yang tak mampu menguasai libido untuk terus berkuasa meski politik itu berujung runcing bagai pisau belati. Atau petak bagai kamar tanpa ventelasi. Bahkan tinggi bagai tangga menuju kelangit untuk menggapai mimpi di atas mimpi.

PEMBODOHAN

Di balik riuh rendah pelaksanaan Pemilu dengan berbagai tahapan, ada juga aksi senyap, tanpa gembar gembor pamer baliho, spanduk atau poster. Itu dilakukan partai politik pengusung Caleg yang punya strategis lain untuk mendekati rakyat sebagai pemilih melalui bisik – bisik.

Namun saat berbisik-bisik, malah berzigzag, menelikung dan menyeruduk sekaligus. Aksi itu tanpa pandang bulu meski semula saling pandang dan akhirnya pandang-pandangan sambil main mata.

Ada juga mata-mata kepala daerah sebagai ketua partai politik mengintimidasi pejabat dan bawahan sampai tingkat RT untuk dukung mendukung dari balik layar. “Karena”, takut kehilangan jabatan, akhirnya mereka setor muka setiap saat sambil angkat telor.

Setelah itu, diberi kesempatan memanfaatkan program pemerintah sebagai upaya penggalangan. Padahal, katak dalam tempurung mengetahui itu pembodohan terhadap rakyat yang hanya karena kebutuhan pokok jadi manut.

Tujuannya, tidak misterius. Pastinya, jelas sebagai upaya pencitraan meraih target perolehan kursi untuk sanak keluarga dan handai tolan plus mencapai target mempertahankan kursi kekuasaan. Ironisnya, karena banyak diam atau hanya sekedar bicara di belakang, anjing dibiarkan menggonggong tapi kafilah terus berlalu sambil bersiul tanpa takut adanya sanksi.

Atau ketika diketahui melakukan pelanggaran rambu peraturan Pemilu karena sembarangan melakukan zigzag, telikung dan seruduk, tidak sulit berdalih menggunakan jurus kata silat lidah dan pakai transaksional sehingga dibuang ke comberan yang mampet.

Saat libodo kekuasaan telah memuncak di ubun-ubun dan kursi kekuasaan harus dipertahankan bahkan harus diperkuat dengan menghalalkan segala cara, kekuasaan itu ternyata benar telah menjadi Narkoba yang bukan hanya sekedar menjadi racun.

Lebih dari itu, alam akan mengantar yang tidak mampu menahan libodo nya ke balik tembok penjara. Karena, ambisius mengejar dan mempertahan kan kekuasaan, ibarat meminum air laut. Semakin diminum, tenggorokan semakin haus dan dahaga.

Di sisi lain, kebanyakan minum air laut sebagai bahan baku garam, tensi darah jadi meninggi dan mudah naik darah. Saat dikritik langsung marah. Telinganya panas dan bola mata merah saga. Bahkan, kritik disebut fitnah. Bukan sebagai intropeksi atau kebebasan berekspresi mengeluarkan pendapat demi suatu perbaikan untuk intropeksi diri.

Betapa indahnya Pemilu tanpa transaksional dan pembodohan sebagai pendidikan politik mencerdaskan kehidupan anak bangsa agar cerdas dan waras untuk melahirkan wakil rakyat plus pemimpin berkualitas dari sebuah kedaulatan rakyat yang berbeda dengan kedaulatan partai.

Kalau Pemilu tanpa transaksional dan tanpa pembodohan karena kedaulatan rakyat telah ditukar dengan kedaulatan partai, siapa kepala daerah berani menjadi ketua partai untuk menjelajah dunia politik sebagai hutan belantara akal? Dihuni manusia sebagai hewan yang berpikir dengan berbagai karakter.

Apabila tetap terjadi pembiaran terhadap transaksional dan pembodohan, Pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat sama saja hoaks atau hanya isu yang sengaja disebar dari delapan penjuru angin. Sehingga, pantas dan wajar Pemilu disebut hanya sebagai benalu demokrasi.

Masalahnya, apakah KPU, Bawaslu, perangkat penegak hukum, Caleg, penguasa serta rakyat, berani duduk melingkar mewujudkan Pemilu berkualitas tanpa transaksional dan pembodohan?

Jawabannya, jangan tanya hembusan angin yang membuat rumput bergoyang.

Opini : Aneuk Syuhada.

Editor : Raiz Azhary

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *