Budaya

Meugang Sebuah Tradisi Religi yang Penuh Kebersamaan

499
×

Meugang Sebuah Tradisi Religi yang Penuh Kebersamaan

Sebarkan artikel ini
Meugang Sebuah Tradisi Religi yang Penuh Kebersamaan
Meugang Sebuah Tradisi Religi yang Penuh Kebersamaan

LINEAR.CO.ID – Meugang adalah Tradisi Religi yang dilestarikan oleh masyarakat Aceh sejak zaman dahulu hingga saat ini.

 

Zaman dahulu, pada hari meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin.

 

Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu.

 

Meugang atau Makmeugang adalah tradisi membeli daging, memasak, kemudian menyantapnya bersama keluarga.

 

Tradisi unik ini dirayakan secara turun-temurun dalam masyarakat Aceh sehari menjelang masuknya bulan suci Ramadan.

 

Hari ini, Rabu (22/3/2023) masyarakat Aceh menyambut suka cita bulan Ramadan. Sehari sebelum Ramadan, masyarakat di ujung Pulau Sumatera ini mengawali tradisi meugang dengan memakan daging sehari sebelum puasa.

 

Sebagaimana dikisahakan dalam sejarah di Aceh, tradisi itu berawal saat Sultan Iskandar Muda memimpin Kerajaan Aceh Darussalam.

 

Lahirnya Tradisi Meugang menyambut Ramadan di Aceh, pada saat Sultan Iskandar Muda Ingin Berbagi rezeki kepada Fakir Miskin.

 

Kenduri pun digelar di istana, Sultan bersama seluruh pembesar istana hadir untuk menyantap daging bersama.

 

Bahkan, ketika Belanda menaklukan Aceh dan berhasil menjajah, tradisi meugang tetap dipertahankan hingga kini. Sehingga bentuk syukur dan suka cita menyambut Ramadan.

 

Kala itu seorang pimpinan bahkan orang yang lebih pendapatannya berbagi daging pada masyarakat yang kurang mampu tak kala sehari sebelum bulan suci Ramadan.

 

Dalam sejumlah literatur sejarah Aceh. Sejarawan asing sekelas Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, menyebutkan adanya upacara meugang di Kerajaan Aceh Darussalam.

 

Bahkan, disebutkan juga meugang dilanjutkan dengan tradisi ziarah pada makam para sultan yang telah meninggal dunia.

 

Denys Lombard juga menyebutkan, ada semacam peletakan karangan bunga di atas makam Sultan usai tradisi santap daging bersama di istana.

 

Sejarawan Belanda yang lama menetap di Aceh era penjajahan, C Snouck Hurgronje dalam buku Aceh Di Mata Kolinialis, menyebutkan persiapan masyarakat Aceh jelang puasa bahkan dilakukan selama tiga hari sebelum Ramadhan.

 

Termasuk meugang didalamnya. Tujuannya, agar di hari awal puasa, masyarakat tak perlu berbelanja.

 

Bukankah mereka yang berpuasa letih, sehingga perlu persiapan di awal-awal, sehingga tak perlu berbelanja dulu di awal puasa,” tulis Snouck dalam buku Aceh Di Mata Kolinialis.

 

Tradisi itu pula, membuat permintaan akan daging meningkat drastis dua hari sebelum Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha.

 

Dalam masyarakat Aceh juga dikenal dengan istilah meugang kecil dan meugang besar. Meugang kecil dua hari sebelum Ramadan, meugang besar satu hari sebelum Ramadan.

 

Namun bedanya masyarakat membeli daging dalam jumlah kecil pada meugang kecil. Karena biasa hanya dikonsumsi untuk keluarga sendiri, tidak dibagi-bagi.

 

Kalau istilah meugang besar biasanya dibagikan pada masyarakat lainnya.

 

Disisi lain meugang juga membangun kebersamaan.

 

Sebelum hari meugang para perangkat gampong seperti keuchik, tuha peut, imuem dan tuha lapan akan melakukan musyawarah di meunasah membahas tentang dana untuk penyembelihan sapi di hari meugang.

 

Namun bagi masyarakat di Aceh, hari meugang tanpa membeli atau makan daging rasanya tidak sempurna.

 

Di dalam masyarakat Aceh, kaya maupun miskin seakan wajib memiliki daging meugang.

 

Bagi orang kaya biasanya membeli daging dengan jumlah banyak kemudian menyumbangnya kepada keluarga kurang mampu atau anak yatim di sekitarnya.

 

Unik nya lagi meugang di Aceh, bagi mampelai pria, akan jadi aib besar kalau meugang tak membeli daging untuk mertuanya.

 

Bahkan sebaliknya akan menjadi kebanggaan keluarga jika ia (mempelai_red) pria membawa pulang kepala sapi atau kerbau.

 

Meugang di Aceh bukan hanya diperingati menjelang bulan suci Ramadan saja. Tradisi ini juga selalu dilakoni sehari atau dua hari menjelang Idul Fitri atau Idul Adha.

 

Namun, tradisi meugang menjelang puasa lebih meriah dibanding meugang Lebaran.

 

Tradisi ini telah ada bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh, yaitu sekitar abad ke-14 M.

 

Sesuai anjuran agama Islam, datangnya bulan Ramadan sebaiknya disambut secara meriah, begitu juga dengan dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

 

Menurut Ali Hasjmy (1983: 151), dalam masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, hari Meugang dirayakan di Keraton Darud Dunia dengan dihadiri oleh sultan, para menteri dan pembesar kerajaan, serta alim ulama.

 

Hari Meugang / Tradisi Religi ini biasanya jatuh pada tanggal 29 atau 30 Sya‘ban (dua hari atau sehari menjelang bulan Ramadhan).

 

Menjelang upacara tersebut, Syahbandar Seri Rama Setia biasanya akan memberikan hadiah berupa pakaian yang akan dipakai sultan dalam upacara itu.

 

Selain itu, Syahbandar Seri Rama Setia juga akan menyediakan karangan-karangan bunga yang ditempatkan di makam para sultan. Gambaran mengenai kemeriahan tradisi tersebut juga dipaparkan oleh Lombard (2007: 204—205).

 

Ali Hasjmy juga menjelaskan bahwa pada hari itu, sultan juga memerintahkan kepada Imam Balai Baitul Fakir/Miskin (yaitu lembaga yang bertugas menyantuni kaum dhuafa dan yatim piatu) untuk membagikan daging, pakaian, dan beras kepada fakir miskin, orang lumpuh, dan para janda.

 

Biaya untuk penyantunan fakir miskin pada hari Meugang ini ditanggung oleh Bendahara Balai Silatur Rahim, yaitu lembaga yang berfungsi mengatur hubungan persaudaraan antar warga negara dan antar manusia yang berdiam dalam Kerajaan Aceh Darussalam.

 

Hingga kekuasan pemerintah kolonial Hindia Belanda, tradisi Meugang ini tetap dilaksanakan di Aceh.

 

Bahkan Pemerintah Belanda mengambil kebijakan libur kerja pada hari Meugang serta membagi-bagikan daging kepada masyarakat (Hasjmy, 1983: 151).

 

Melembaganya tradisi Meugang dalam masyarakat Aceh dapat dilihat dari jaringan sosial yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan daging pada hari Meugang.

 

Jauh hari sebelum Meugang dilaksanakan, masyarakat gampong (kampung) akan bermusyawarah di meunasah (tempat berkumpulnya orang dewasa untuk melakukan ibadah, musyawarah, maupun menyelesaikan berbagai persoalan sosial-budaya) untuk menentukan ripee, yaitu jumlah pungutan atau iuran warga untuk membeli sapi yang akan dipotong bersama-sama.

 

Gotong royong mengumpulkan uang inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Meuripee. Pada hari Meugang, sapi-sapi hasil iuran bersama akan dipotong dan kemudian dibagi rata.

 

Dalam perkembangannya, selain pemotongan daging yang diupayakan secara bersama-sama melalui cara Meuripee, masyarakat Aceh juga memperoleh daging sapi dengan jalan membelinya di pasar-pasar.

 

Menjelang pelaksanaan Meugang, masyarakat Aceh akan berbondong-bondong menuju pusat-pusat penjualan daging sapi.

 

Akibat kebutuhan daging yang melonjak tersebut, harga daging sapi biasanya akan naik 2 sampai 3 kali lipat dari harga normal.

 

Lapak-lapak baru penjualan daging pun turut menjamur di pinggir jalan maupun di tempat-tempat keramaian lainnya.

 

Perayaan Meugang tidak hanya memiliki makna lahiriah sebagai perayaan menikmati daging sapi, melainkan juga memiliki beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh.

 

Mereka yang melaksanakan tradisi Meugang di Aceh memang mengenal sebuah pepatah yang sudah cukup lama hidup dalam kesadaran mereka, yaitu Si thon ta mita, si uroe ta pajoh (Setahun kita mencari rezeki, sehari kita makan).

 

Pepatah ini cukup tepat untuk menggambarkan betapa hari Meugang bagi masyarakat Aceh merupakan hari yang sangat penting, di mana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati daging secara bersama-sama.

 

Meski demikian, selain sebagai wujud mensyukuri nikmat rezeki selama setahun itu, pelaksanaan tradisi Meugang juga memiliki beberapa dimensi nilai yang lain, antara lain:

 

Pelaksanaan tradisi Meugang memang bermula dari upaya masyarakat Aceh untuk merayakan datangnya bulan puasa dan dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi masyarakat muslim pada umumnya, datangnya bulan Ramadan disambut dengan gegap gempita.

 

Tak terkecuali bagi masyarakat Aceh. Meugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan upaya untuk mensyukuri datangnya bulan yang penuh berkah.

 

Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan. Sementara Meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih karena masyarakat Aceh dapat melaksanakan Hari Raya Qurban.

 

Dari ketiga Meugang tersebut, Meugang menyambut datangnya bulan puasa merupakan perayaan Meugang yang paling meriah.

 

Hal ini karena masyarakat Aceh percaya bahwa nafkah yang sudah dicari selama 11 bulan penuh harus dinikmati selama bulan Ramadan sambil beribadah.

 

Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan Meugang telah menjadi salah satu momen berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin.

 

Kebiasaan berbagi daging Meugang ini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh.

 

Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rejeki, perayaan Meugang juga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di pasar maupun pusat penjualan daging sapi. Para pengemis ini meminta sepotong atau beberapa potong daging kepada para pedagang. Ini berkaitan dengan terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan.

 

Tradisi Meugang yang meibatkan sektor pasar, keluarga inti maupun luas, dan sosial menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih memilih berkumpul di rumah.

 

Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga. Perayaan Meugang menjadi penting karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan.

 

Pentingnya tradisi Meugang/Tradisi Religi, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh. Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya (baik dengan cara menabung atau bahkan terpaksa harus berhutang), sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga.

 

Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.

 

Tradisi meugang yang sudah menjadi Tradisi Religi bukan hanya merepresentasikan kebersamaan dalam keluarga, namun juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya.

 

Seorang pria, terutama yang baru menikah, secara moril akan dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan mertuanya.

 

Hal ini sebagai simbol bahwa pria tersebut telah mampu memberi nafkah keluarga serta menghormati mertuanya.

 

Tak hanya para menantu, pada hari Meugang para santri (murid-murid yang belajar agama) pun biasanya akan mendatangi rumah para guru ngaji dan para teungku untuk mengantarkan masakan dari daging sapi sebagai bentuk penghormatan.

 

Begitu pentingnya nilai penghormatan terhadap orang tua telah mengkondisikan tradisi tersebut tidak mungkin untuk ditinggalkan. Jika ditinggalkan hidup menjadi terasa tidak lengkap dan dan muncul perasaan terkucil.

 

Pelaksanaan tradisi Meugang secara jelas telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh mengapresiasi datangnya hari-hari besar Islam.

 

Tradisi Religi ini secara signifikan juga telah mempererat relasi sosial dan kekerabatan di antara warga, sehingga secara faktual masyarakat Aceh.

 

Selain dampak penguatan ikatan sosial warga di tingkatan gampong dan tempat kerja (kantor), nampak pula dampak signifikan dari tradisi ini di ranah pasar, yaitu aktivitas jual-beli daging yang meningkat tajam.

 

Tradisi meugang/Tradisi Religi menyambut Ramadan merupakan salah satu warisan budaya masyarakat di Aceh yang mengandung berbagai nilai luhur itu diharapkan dapat dilestarikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *