LINEAR.CO.ID | Sebelum gugur pada 11 Februari 1899, Teuku Umar sempat berkata, “Besok kita minum kopi di Meulaboh, atau aku mati syahid.” Ia pun syahid tanpa sempat meneguk kopi itu. Namun, kisah ini bukan tentang perang, melainkan tentang kopi—hal yang sangat bermakna bagi orang Aceh. Ngopi bukan sekadar rutinitas, tapi tradisi sosial dan ruang interaksi.
Warung kopi di Aceh menjadi tempat berdiskusi, bersantai, hingga berbagi ide. Ia disebut “universitas tanpa rektor dan kantor tanpa absen”, karena siapa pun bisa berbicara tentang apa saja. Warung kopi tersebar di seluruh Aceh, dari desa hingga kota, simbol bahwa ngopi bagi orang Aceh bukan sekadar menyeruput, tapi merayakan hidup.
Warung Kopi dan Politik: Kopi Hitam, Bicara Tajam
Bagi orang Aceh, politik dan kopi tak terpisahkan, seperti kopi tanpa gula, getir tapi tetap dinikmati. Warung kopi menjadi panggung politik sejati, tempat janji kampanye dikritisi dan kebijakan pemerintah dibedah tajam.
Di sini, kebijakan pemerintah dibedah seperti mayat di meja forensik. Isu-isu nasional dikupas lebih tajam dari pena jurnalis yang haus berita. Kadang, suasana diskusi bisa lebih panas dari kopi yang baru diseduh, tapi tak sampai saling lempar cangkir. Paling hanya lempar candaan.
Politisi pun tahu, opini publik lahir di warung kopi. Karena itu, siapa pun yang ingin populer di Aceh harus hadir di sana, meski hanya untuk duduk dan tersenyum.

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf ngopi bersama Kapolda Aceh
Antara Kopi dan Syariat
Di Aceh, muncul perdebatan: perlukah warung kopi ditutup saat azan?Sebagian menilai penutupan perlu untuk menjaga ibadah dan keberkahan usaha. Namun, ada yang berpendapat warung kopi bisa tetap buka dengan cara bijak, menyiarkan azan, menyediakan musala, dan memberi waktu pelanggan salat.
Pada akhirnya, warung kopi di Aceh bukan sekadar tempat minum, tapi bagian dari kehidupan sosial, ekonomi, dan spiritual. Kopi dan salat bukan untuk dipilih salah satu, keduanya bisa berjalan seiring dalam harmoni.
Tak heran jika kemudian Aceh dijuluki “Provinsi 1001 Warung Kopi”, karena di setiap sudutnya selalu ada aroma kopi yang mengepul.
Warung kopi hadir sebagai simbol kebersamaan dan denyut kehidupan masyarakat. Di sanalah cerita, gagasan, dan bahkan sejarah kecil Aceh ditulis setiap hari di antara kepulan asap dan denting gelas kopi.