LINEAR.CO.ID | ACEH UTARA – Himpunan Mahasiswa Kuta Makmur (HIMAKMUR) dengan tegas menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, mantan Presiden Republik Indonesia yang selama 32 tahun kekuasaannya meninggalkan jejak panjang pelanggaran hak asasi manusia, ketidakadilan struktural, dan trauma sosial yang masih membekas hingga hari ini.
Rencana pemberian gelar tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi 1998 dan penghinaan terhadap perjuangan rakyat Aceh serta para tokoh bangsa yang memperjuangkan martabat dan kedaulatan rakyat — termasuk Tengku Hasan Muhammad di Tiro, tokoh yang pada 4 Desember 1976 mengantarkan Proklamasi Aceh sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan rezim Orde Baru.
“Ketika Hasan Tiro mengantarkan proklamasi Aceh, itu bukan sekadar tindakan politik, melainkan jeritan rakyat yang ditindas oleh kekuasaan militeristik Soeharto. Menjadikan Soeharto sebagai pahlawan berarti menutup mata terhadap sejarah penderitaan dan perlawanan rakyat,” tegas Maulana Fikri Saputra, Koordinator Umum HIMAKMUR.
Selama rezim Soeharto berkuasa, Indonesia menyaksikan berbagai tragedi kemanusiaan:
- pembantaian massal 1965,
- pelanggaran berat di Timor Timur,
- penghilangan paksa aktivis,
- pembungkaman kebebasan pers dan akademik,
- hingga kekerasan negara yang merampas hak-hak sipil rakyat.
Salah satu bab tergelap dari masa itu terjadi di Aceh, melalui kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) antara tahun 1989–1998. Dalam periode tersebut, ribuan warga sipil menjadi korban penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan di luar hukum. Hingga kini, banyak korban dan keluarganya belum mendapatkan keadilan — bahkan sekadar pengakuan negara.
Ironisnya, dari luka dan penindasan itulah tumbuh kesadaran politik dan perlawanan rakyat Aceh, sebagaimana telah ditanamkan oleh Hasan Tiro sejak awal — sebagai bentuk penolakan terhadap ketidakadilan dan tirani Orde Baru.
Bagaimana dengan para aktivis yang gugur memperjuangkan hak-hak rakyat seperti Wiji Thukul, Munir, dan Soe Hok Gie? Apakah perjuangan dan pengorbanan mereka akan dihapus begitu saja demi menyanjung seorang penguasa yang menindas?
Jika Soeharto diangkat menjadi Pahlawan Nasional, jasa apa yang sebenarnya telah ia torehkan bagi bangsa ini?
Pahlawan sejati bukanlah mereka yang menindas rakyat atas nama stabilitas,
melainkan mereka yang berani menentang ketidakadilan, bahkan ketika harus berhadapan dengan negara sendiri.
Mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan hanya penyesatan sejarah, tetapi juga penghinaan terhadap luka dan perjuangan rakyat Aceh, serta pengkhianatan terhadap semangat Hasan Tiro yang lahir dari penderitaan bangsa.
“Kami menolak lupa. Kami menolak rekonsiliasi palsu. Kami menolak Soeharto menjadi pahlawan. Tutup Maulana Fikri Saputra,


