Oleh: Arianto SH Praktisi Hukum (Advokat)
LINEAR.CO.ID | SUBULUSSALAM – Sebagai seorang yang berprofesi advokat, saya memiliki pandangan seputar status porelahan kepemilikan tanah, tak terkecuali tanah wakaf.
Tanah wakaf, yang merupakan bagian integral dari khazanah hukum Islam dan perwakafan di Indonesia, memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari tanah hak milik biasa.
Salah satu pertanyaan mendasar yang kerap muncul adalah, “Apakah tanah wakaf dapat diperjualbelikan?” Jawaban singkatnya adalah tidak.
Tanah wakaf pada prinsipnya tidak dapat diperjualbelikan, diwariskan, dialihkan, atau dijadikan jaminan utang. Prinsip ini adalah pilar utama dalam hukum perwakafan.
Esensi Wakaf: Harta Abadi untuk Kemaslahatan Umat
Wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif (pihak yang mewakafkan harta benda) untuk memisahkan dan menyerahkan sebagian harta benda miliknya yang bergerak maupun tidak bergerak untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kemaslahatan umum menurut syariah.
Konsep “selamanya” inilah yang menjadi kunci.
Begitu sebuah tanah diwakafkan, ia lepas dari kepemilikan individu wakif dan menjadi milik Allah SWT, diperuntukkan bagi kemaslahatan umat.
Dasar Hukum Larangan Jual Beli Tanah Wakaf
Larangan jual beli tanah wakaf memiliki pijakan yang kuat dalam regulasi nasional kita. Beberapa dasar hukum utamanya meliputi:
* Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (UU Wakaf)
* Pasal 16 Ayat (1): “Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. dijadikan jaminan; b. disita; c. diwariskan; d. dihibahkan; e. dijual; f. ditukar; g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.” Pasal ini secara eksplisit dan tegas melarang penjualan tanah wakaf. Ketentuan ini adalah fondasi utama yang menegaskan status abadi harta wakaf.
* Pasal 40: “Harta benda wakaf yang telah didaftarkan atas nama Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) tidak dapat dialihkan kepemilikannya.” Pasal ini semakin memperkuat larangan pengalihan kepemilikan.
* Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (PP Wakaf)
* Pasal 5: PP ini menegaskan kembali larangan sebagaimana diatur dalam UU Wakaf, serta mengatur secara lebih rinci mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.
* Komplilasi Hukum Islam (KHI)
* Pasal 215 Ayat (2): “Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan, haram hukumnya untuk dimiliki atau dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain, kecuali karena ditukar dengan benda yang lebih baik dan lebih bermanfaat menurut syariah.
Pasal ini menegaskan keharaman kepemilikan individual atas harta wakaf dan memperkenalkan pengecualian yang sangat terbatas, yaitu penukaran (istibdal).
Pengecualian: Istibdal (Penukaran Harta Wakaf)
Meskipun prinsipnya tanah wakaf tidak dapat diperjualbelikan, ada satu kondisi sangat spesifik di mana pengalihan status tanah wakaf dapat terjadi, yaitu melalui mekanisme istibdal atau penukaran.
Istibdal bukanlah jual beli dalam pengertian biasa, melainkan pertukaran harta wakaf dengan harta lain yang nilainya setara atau lebih baik, serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi kemaslahatan umat.
Syarat-syarat untuk melakukan istibdal sangat ketat dan diatur dalam Pasal 41 UU Wakaf dan Pasal 62 PP Wakaf, di antaranya:
* Harta benda wakaf tersebut tidak dapat digunakan sesuai dengan ikrar wakaf.
* Harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum yang sesuai dengan syariah dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
* Harta benda pengganti harus memiliki nilai dan manfaat yang sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf yang ditukar.
* Penukaran harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Badan Wakaf Indonesia (BWI).
Proses istibdal ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan transparan, melibatkan banyak pihak, serta bertujuan semata-mata untuk meningkatkan produktivitas dan kebermanfaatan wakaf. Tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut, istibdal tidak dapat dilakukan.
Implikasi Hukum bagi Transaksi Jual Beli Tanah Wakaf
Apabila terjadi transaksi jual beli tanah yang berstatus wakaf tanpa melalui prosedur istibdal yang sah, maka secara hukum transaksi tersebut adalah batal demi hukum.
Artinya, secara hukum transaksi tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak menimbulkan akibat hukum apapun.
Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut dapat menghadapi konsekuensi hukum, termasuk sanksi pidana jika terbukti ada unsur penipuan atau penyalahgunaan kewenangan.
Sebagai seorang advokat, saya menekankan pentingnya bagi masyarakat untuk selalu melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap status hukum suatu tanah sebelum melakukan transaksi.
Peran Nadzir (pengelola wakaf), Badan Wakaf Indonesia (BWI), dan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) sangat krusial dalam memastikan keabsahan dan keberlangsungan tanah wakaf sesuai dengan peruntukannya.
“Siapapun yang menjual tanah status yang telah di wakafkan akan mendapatkan hukuman secara perundang-undangan. Baik didunia maupun di akhirat,” tutup Ari. (*)