Opini Oleh : Muhammad Lukfarrazi
LINEAR.CO.ID – Musim berganti, dari kemarau panjang yang mengeringkan ke hujan deras yang tak terelakkan. Bagi warga di lingkar pertambangan Aceh Timur, perubahan musim hanya membawa satu kepastian: Jalur penderitaan yang tak berkesudahan.
Ketika hujan mengguyur, jalanan aspal yang seharusnya menjadi urat nadi perekonomian berubah wujud menjadi kolam-kolam besar. Lumpur pekat siap menjebak setiap roda yang melintas, menciptakan pemandangan yang tak jarang membuat para pengendara harus menantang maut.
Tak berlebihan rasanya jika jalan ini disebut sebagai “kolam renang” alamiah yang ironis, tempat air bertahan, alih-alih mengalir.
Namun, di tengah kubangan itu, ada kebiasaan yang pahit: warga sudah menganggapnya sebagai hal lumrah, sebuah keniscayaan.
Debu Musim Kemarau dan Janji Pejabat
Kisah jalan ini memiliki dua wajah. Saat kemarau tiba, wajah jalan itu berubah lagi. Bukan lagi kubangan, melainkan lautan debu. Debu-debu halus itu beterbangan, menyelimuti rumah, pepohonan, hingga pakaian warga. Mereka menyebutnya dengan nada getir: “Obat pelepas rindu bagi pejabat daerah.”
Sebuah ungkapan yang menyiratkan sindiran tajam. Warga hanya bisa “merasakan” kehadiran pemerintah dua periode lewat janji-janji perbaikan yang, sayangnya, ikut menguap bersama debu. Mereka rindu pada perhatian nyata, bukan sekadar kunjungan sesaat.
Beban Berat Perusahaan Raksasa Industri
Yang menyedihkan, kerusakan infrastruktur vital ini terjadi di tengah gemuruh aktivitas beberapa perusahaan raksasa yang beroperasi di wilayah tersebut: PTPN dan PT PKS.
Jauh sebelum PT Medco hadir, jalan ini memang sudah mulai rusak. Namun, lalu lintas berat kendaraan industri telah memperparah kondisinya secara eksponensial. Setiap malam, truk-truk besar bermuatan sawit hasil perkebunan PTPN melintas. Disusul kemudian oleh truk-truk pengangkut Crude Palm Oil (CPO) milik PT PKS. Beban tonase yang melampaui batas kemampuan jalan lokal membuat proses “pembangunan bertahap” menjadi sia-sia: “Baroe goet inoe, reuloeh ideeh” (baru bagus di sini, sudah rusak lagi di sana).
Warga kini melihat masalah ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah semata. Kehadiran tiga perusahaan yang mengeruk kekayaan alam di wilayah ini seharusnya diikuti dengan andil nyata dalam pemeliharaan jalan. Ungkapan penutup warga pun jelas: “Han meumada krok timboen jalan nyan!” (Tidak cukup hanya dengan menimbun jalan itu!) Mereka menuntut kontribusi yang lebih signifikan, sebuah investasi infrastruktur yang sebanding dengan keuntungan yang didulang.
Menatap Kepemimpinan Baru dengan Asa Penuh
Dua periode kepemimpinan bupati sebelumnya, Hasballah Bin H. M Thaib, telah berlalu tanpa ada solusi permanen bagi jalan berlumpur ini.
Kini, seluruh mata dan harapan masyarakat Aceh Timur tertuju pada kepemimpinan bupati yang baru. Ada harapan besar yang diemban di pundak mereka, sebuah harapan agar mimpi memiliki jalan yang layak—bebas dari lumpur di musim hujan dan debu di musim kemarau—dapat terwujud.
Jalan ini bukan sekadar jalur logistik. Jalan ini adalah akses kehidupan, gerbang pendidikan, dan nadi kesehatan bagi masyarakat. Sudah saatnya, kubangan lumpur ini berhenti menjadi kubangan rindu yang menyakitkan, dan mulai menjadi jalan bagi kemajuan.


