LINEAR.CO.ID | BANDA ACEH – Tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh melakukan penahanan terhadap mantan Bupati Aceh Tamiang, Mursil, Pada Senin (6/6/2023),
Penahanan Mursil dilakukan setelah dia ditetapkan sebagai tersangka pada 31 Maret 2023 lalu, terkait tindak pidana korupsi dalam penguasaan lahan Eks Hak Guna Usaha (HGU) PT. Desa Jaya Perkebunan Alur Jambu, Penguasaan Lahan Eks-HGU PT. Desa Jaya Perkebunan Alur Meranti, dan penerbitan beberapa sertifikat Hak Milik atas Tanah Negara di Kabupaten Aceh Tamiang.
Selain Mantan Bupati Aceh Tamiang, Mursil, penyidik juga menahan dua tersangka lainnya, yaitu T. Yusni, Direktur PT. Desa Jaya Perkebunan Alur Jambu dan PT. Desa Jaya Perkebunan Alur Meranti, serta T. Rusli, yang merupakan penerima ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan Makodim Aceh Tamiang.
Plh Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh, Dedek Taufik SH, menjelaskan bahwa ketiga tersangka tersebut akan diperiksa pada Selasa, 6 Juni 2023, dan selanjutnya akan ditahan.
“Ditahan selama 20 hari, mulai dari tanggal 06 Juni 2023 hingga 25 Juni 2023, di Rutan Kelas II B Banda Aceh,” jelasnya dalam keterangan tertulis.
Pada tahun 2009, pengurus PT. Desa Jaya, T. Rusli, mengajukan permohonan sertifikat hak milik atas tanah negara yang berdekatan dengan lahan eks-HGU PT. Desa Jaya Alur Meranti, dengan tujuan untuk mendapatkan pembayaran dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum pembangunan Makodim Aceh Tamiang.
Karena tanah tersebut adalah tanah negara, T. Rusli dibantu oleh Mursil yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Pertanahan Aceh Tamiang tahun 2009, mengajukan permohonan kepemilikan hak tanah dengan alasan bertani dan berkebun.
Setelah sertifikat diterbitkan pada tanggal 5 Juni 2009, beberapa hari kemudian Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang memberikan ganti rugi kepada Tsk TR atas tanah tersebut dengan nilai sebesar Rp. 6.430.000.000.
Perusahaan PT. Desa Jaya Alur Meranti dan PT. Desa Jaya Alur Jambu mendapatkan keuntungan ilegal dari pelaksanaan kegiatan usaha perkebunan tanpa memiliki Alas Hak (Hak Guna Usaha) dan Perizinan (Izin Usaha Perkebunan). Selain itu, kedua perusahaan tersebut tidak melaksanakan program kemitraan masyarakat sebesar 20% atau yang dikenal dengan istilah plasma.