Opini
Beranda | Hasan Tiro: Api yang Hendak Dipadamkan, Justru Menyala di Ingatan

Hasan Tiro: Api yang Hendak Dipadamkan, Justru Menyala di Ingatan

Nawaffis Shafin (penulis)

Hasan Tiro tak lahir dari ruang kosong, ia lahir dari rahim sejarah panjang Aceh. Negara menyebutnya pemberontak, tapi bagi banyak hati di Aceh, ia adalah penafsir luka — seorang yang berani memberi bahasa pada derita rakyatnya.

Hasan Tiro bukan sekadar tokoh, ia adalah ide yang menolak dilupakan. Ia menulis Aceh di peta dunia dengan tinta keyakinan, bahwa bangsa kecil pun berhak bermimpi besar. Mungkin banyak yang tak setuju dengan jalannya, tapi siapa bisa menyangkal keberanian pikirannya?

Di dalam gagasannya, tersimpan harga diri Aceh yang sering ditukar murah. Di dalam pikirannya, ada kehormatan yang tak mau ditawar.

Hasan Tiro adalah tanda seru dalam kalimat panjang perjuangan Aceh. Sebuah penegas, bahwa harga diri tak boleh berhenti di meja perundingan, dan bahwa mimpi bisa tetap hidup, bahkan ketika sang pemilik mimpi telah tiada.

Hari ini, Hasan Tiro mungkin telah tiada, tapi ia tetap hadir di sela percakapan, di doa-doa yang lirih, di cerita-cerita yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lain.

Disorientasi Kepemimpinan: Penghapusan PKKMB di Tingkat Fakultas dan Prodi

Bagi sebagian orang, ia adalah api, bagi yang lain, ia adalah luka. Namun di mata sejarah, Hasan Tiro adalah cermin: menyuguhkan wajah Aceh yang tak mau tunduk, meski harus berjalan di jalan paling sunyi.

Sosok Hasan Tiro

Hari ini, ketika dunia terus berubah dan Aceh mencari jalannya, nama Hasan Tiro tetap menjadi penanda. Bukan untuk mengulang luka, tetapi untuk mengingat bahwa harga diri adalah akar yang tak boleh dicabut.

Sejarah mungkin menuliskannya dengan tinta berbeda — ada yang menyebutnya pemberontak, ada yang menyebutnya pahlawan. Namun waktu akan selalu menyingkap satu hal: bahwa Hasan Tiro adalah suara yang tak pernah berhenti memanggil Aceh untuk berdiri, dengan segala kehormatan yang dimilikinya.

Penulis: Nawaffis Shafin

Temuan Ladang Gas di Perairan Aceh, Berkah atau Kutukan?
×
×