LINEAR.CO.ID | BANDA ACEH – Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh menyatakan sikap tegas dan terbuka kepada pemerintah pusat, khususnya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), untuk segera menyerahkan seluruh kewenangan pengelolaan dan pengawasan kegiatan usaha hulu migas di Wilayah Kerja (WK) Rantau yang berada di Aceh Tamiang kepada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) dengan sistem carved out, (03/07/2025).
Namun hingga kini, proses pengalihan pengelolaan Wilayah Kerja (WK) Rantau, Aceh Tamiang, dari PT Pertamina EP kepada Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) melalui mekanisme carved out belum menunjukkan titik terang. Padahal, seluruh mekanisme administratif telah disepakati, termasuk penandatanganan Terms and Conditions (T&C) Existing oleh Pj. Gubernur Aceh pada 30 Oktober 2024. Akan tetapi, penetapan T&C baru oleh Kementerian ESDM sebagai syarat penandatanganan Production Sharing Contract (PSC) hasil carved out tak kunjung dilakukan.
Kita bertanya: ada apa sebenarnya di balik pengalihan blok ini, sehingga sangat lama diproses?
Secara hukum, keberadaan BPMA telah jelas diatur dalam PP No. 23 Tahun 2015, tepatnya pada BAB I Pasal 1 Ayat 22, yang menyebut:
“Badan Pengelola Migas Aceh, yang selanjutnya disingkat BPMA, adalah suatu badan Pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 sampai dengan 12 mil laut).”
Artinya, seluruh kegiatan usaha hulu migas di wilayah tersebut sudah seharusnya berada di bawah pengelolaan BPMA. Maka, keterlambatan proses alih kelola ini bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal kepatuhan terhadap amanat regulasi nasional dan semangat otonomi daerah yang dijamin oleh UUPA.
Faizar Rianda, Presiden Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh, menilai bahwa lambannya proses ini mencerminkan inkonsistensi negara terhadap semangat desentralisasi sektor energi. “Ini bukan hanya soal administrasi, ini soal keadilan dan keberanian untuk menghargai hak Aceh yang sudah diatur jelas dalam hukum nasional. Ketika seluruh prasyarat sudah dipenuhi, lalu kenapa masih tertunda?” ungkapnya.
Menurutnya, situasi ini menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah pusat dalam menjalankan peraturan yang menjadi turunan langsung dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Padahal, kata Faizar, Pj. Gubernur Aceh sudah menandatangani persetujuan atas T&C Existing pada 30 Oktober 2024 lalu. Sejak itu, belum ada kepastian lanjutan dari Kementerian ESDM.
Keterlambatan dalam proses ini berdampak serius bagi Aceh. Daerah kehilangan potensi pendapatan yang seharusnya diterima melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH), sebagaimana telah diatur dalam PP No. 23 Tahun 2015, dengan proporsi 70 persen untuk daerah dan 30 persen untuk pusat. Selain itu, selama pengelolaan belum dialihkan, Aceh belum sepenuhnya berdaulat atas sumber daya alamnya sendiri. Pemerintah daerah tidak memiliki akses penuh terhadap laporan lifting, biaya operasional, maupun penghasilan dari WK Rantau yang berada di wilayahnya.
Faizar menegaskan bahwa penundaan ini merupakan bentuk ketidakadilan fiskal yang nyata. “Aceh selama ini hanya menonton kekayaan alamnya dikelola tanpa kendali. Padahal, amanat PP No. 23 Tahun 2015 sudah jelas memberikan kewenangan itu kepada BPMA. Kalau ini terus dibiarkan, maka semangat UUPA dan Otonomi Khusus akan kehilangan maknanya,” tambahnya.
Sebaliknya, jika pengalihan pengelolaan dilakukan segera, Aceh akan memperoleh sejumlah manfaat konkret. BPMA sebagai pengelola penuh akan mampu meningkatkan penerimaan daerah, baik melalui DBH maupun Participating Interest (PI). Berdasarkan PP No. 23 Tahun 2015, skema DBH yang berlaku adalah 70% untuk Aceh dan 30% untuk Pemerintah Pusat sebuah proporsi yang secara nyata memperkuat kapasitas fiskal daerah.
Fungsi pengawasan dan pengelolaan juga akan berjalan secara menyeluruh dan transparan, mulai dari proses lifting hingga pendapatan. Keterlibatan tenaga kerja lokal, BUMD, dan pelaku usaha lokal dalam rantai pasok akan meningkat, memberi dampak ekonomi langsung bagi masyarakat. Selain itu, keberadaan PSC baru yang berbasis carved out akan memberikan kepastian hukum dan struktur kontrak yang sesuai dengan karakteristik WK Rantau.
Pengalihan ini tidak hanya penting secara teknis, tapi juga menjadi simbol nyata dari kedaulatan energi Aceh yang selama ini diperjuangkan.
Berdasarkan analisa kami, seharusnya akan terbentuk dua PSC ke depan: PSC Pertamina EP existing yang wilayahnya meliputi luar Aceh, dan PSC Rantau hasil carved out yang wilayahnya berada di Aceh dan dikelola oleh BPMA.
Kini, bola berada di tangan Pemerintah Pusat. Jika komitmen terhadap otonomi dan keadilan fiskal benar-benar ingin ditegakkan, maka pengesahan T&C dan PSC hasil carved out harus segera diwujudkan. Aceh sudah menunggu terlalu lama. Sudah saatnya pengelolaan sumber daya migas di wilayah ini benar-benar dikembalikan ke pangkuan rakyatnya sendiri.
Seperti disampaikan Faizar Rianda, “Sudah cukup Aceh menjadi penonton. Saatnya kita yang mengelola, mengawasi, dan mengambil manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat sendiri.”