LINEAR.CO.ID | ACEH BARAT – Dewan Energi Mahasiswa Aceh (DEM Aceh) mendukung penuh kebijakan Gubernur Aceh yang memerintahkan penutupan seluruh aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah Aceh. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah hukum darurat yang wajib ditempuh untuk melindungi masyarakat Aceh dari bahaya bencana ekologis, sekaligus memastikan keberlanjutan pembangunan daerah.
Koordinator Wilayah Barat-Selatan DEM Aceh, Jasmi, menegaskan bahwa Aceh tidak boleh menjadi ruang kompromi bagi praktik tambang ilegal. “PETI bukan hanya pelanggaran etika, melainkan tindak pidana serius. Ia mengancam keselamatan publik, merusak lingkungan, dan melemahkan keadilan hukum. Langkah tegas Gubernur harus menjadi tonggak perubahan menuju tata kelola sumber daya alam yang bersih dan berkeadilan,” ujarnya.
Aktivitas PETI selama ini telah meninggalkan jejak kerusakan yang serius, mulai dari pencemaran air dan tanah akibat penggunaan merkuri serta sianida, hingga kerusakan hutan yang memicu banjir bandang dan tanah longsor.
“Bukan hanya merusak lingkungan, PETI juga merusak tatanan ekonomi lokal dengan membangun jaringan ekonomi ilegal yang merugikan rakyat kecil,” tegas Jasmi.
*Penegakan Hukum Zero-Defect Rakyat Menang*
DEM Aceh menekankan pentingnya penegakan hukum tanpa kompromi (zero-defect enforcement). Aparat penegak hukum tidak boleh berhenti pada pekerja lapangan, tetapi harus menindak pemodal besar dan oknum aparat atau elit politik yang menjadi pelindung PETI.
“Masalah utama PETI adalah dugaan keterlibatan aktor besar di balik layar. Jika mereka tidak disentuh, maka penertiban hanya akan menjadi terapi sesaat,” tambah Jasmi.
DEM Aceh menegaskan bahwa penutupan PETI harus dibarengi dengan solusi ekonomi yang riil dan berkelanjutan bagi masyarakat terdampak. Salah satu skema yang ditawarkan adalah transformasi aktivitas ilegal menjadi sumber pendapatan sah masyarakat melalui koperasi dan UMKM lokal.
Transformasi dari tambang ilegal menuju tambang rakyat yang sah hanya mungkin terjadi bila masyarakat diberi ruang melalui koperasi atau UMKM lokal. Lembaga inilah yang akan menjadi wadah resmi eks-PETI untuk melakukan penambangan secara legal, transparan, dan berizin, dengan tata kelola yang melibatkan pemerintah daerah serta pengawasan publik.
Melalui model ini, hasil tambang tidak lagi dikuasai pihak tertentu, melainkan dikelola bersama untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat sekitar. Pendapatan yang diperoleh dapat dialokasikan bagi diversifikasi usaha produktif, mulai dari pertanian, agroforestry, perikanan, hingga ekowisata sehingga masyarakat tidak hanya bergantung pada tambang.
Untuk memperkuatnya, koperasi/UMKM diberikan akses pendanaan dari dana desa, APBA, KUR perbankan, maupun CSR perusahaan sekitar, serta mendapat pelatihan dan pendampingan dari akademisi dan dinas terkait. Tambang legal milik koperasi atau UMKM ini juga wajib menyisihkan hasil usaha untuk rehabilitasi lingkungan, menjadikannya sumber pendapatan tambahan sekaligus bentuk tanggung jawab ekologis.
Dengan dukungan akses pasar dan branding, koperasi tambang rakyat bukan hanya menghapus stigma ilegal, tetapi juga menjadi motor penggerak ekonomi daerah yang berkelanjutan dan inklusif.
“Transformasi ini akan membuat masyarakat tidak hanya keluar dari jerat PETI, tetapi juga memperoleh pendapatan legal yang berkelanjutan. UMKM dan koperasi akan menjadi tulang punggung ekonomi rakyat Aceh,” ujar Jasmi.
DEM Aceh mendorong Pemerintah Aceh menyusun Roadmap Aceh Bebas PETI, yang mencakup target jelas, indikator pencapaian, serta mekanisme pengawasan publik. Roadmap ini harus menyatukan penegakan hukum tegas dengan strategi pemberdayaan ekonomi, sehingga tidak ada celah bagi munculnya kembali PETI.
Menurut DEM Aceh, keberhasilan langkah ini tidak hanya diukur dari jumlah tambang ilegal yang ditutup, tetapi dari keberanian menindak para aktor besar serta keberhasilan menciptakan alternatif ekonomi rakyat.
“Penutupan tambang ilegal adalah awal. Ujian sesungguhnya adalah keberanian menindak oknum pelindung dan memastikan rakyat memiliki jalan ekonomi baru melalui UMKM dan koperasi. Ini bukan sekadar prestasi, melainkan kewajiban demi Aceh yang berdaulat, bersih, dan berkelanjutan,” tutup Jasmi.
DEM Aceh mengajak seluruh masyarakat, ulama, organisasi sipil, akademisi, dan media untuk bersama-sama mengawal implementasi kebijakan ini secara kritis, transparan, dan konstruktif.