LINEAR.CO.ID | BANDA ACEH – Gugatan Cerai di Aceh Didominasi Istri, Perselisihan dan Judi Online Jadi Pemicu
Selama enam bulan pertama tahun 2025, Mahkamah Syar’iyah (MS) di 23 kabupaten/kota di Aceh mencatat 2.923 perkara perceraian. Dari jumlah tersebut, mayoritas diajukan oleh pihak istri.
Berdasarkan data yang dihimpun, sebanyak 2.311 perkara merupakan cerai gugat di mana istri menggugat cerai suami.
Sementara itu, cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan oleh pihak suami, tercatat sebanyak 612 perkara.
“Lebih dari 70 persen permohonan perceraian diajukan oleh istri,” ujar Humas Mahkamah Syar’iyah Aceh, Munir, kepada wartawan saat ditemui di kantornya, Jumat, 1 Agustus 2025.
Munir menjelaskan, berbagai faktor memicu tingginya angka gugatan cerai oleh istri, mulai dari persoalan ekonomi hingga maraknya judi online. Namun, menurutnya, pemicu paling dominan adalah perselisihan berkepanjangan dalam rumah tangga.
“Perselisihan yang terus menerus, KDRT, perselingkuhan, dan judi online menjadi faktor yang kerap kami temukan dalam berkas perkara,” jelas Munir.
Data perkara yang telah diputus hingga Juni 2025 menunjukkan, Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon di Aceh Utara mencatat angka tertinggi, dengan 295 perkara cerai gugat dan 77 cerai talak.
Disusul MS Kualasimpang, Aceh Tamiang, dengan 200 cerai gugat dan 30 cerai talak. Sebaliknya, Sabang menjadi wilayah dengan angka perceraian terendah—hanya 11 cerai gugat dan 1 cerai talak.
Munir menekankan bahwa tidak semua konflik dalam rumah tangga layak dibawa ke ranah hukum.
Ia mengingatkan bahwa permohonan perceraian ke pengadilan harus disertai alasan yang kuat, sesuai Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
“Orang tidak bisa sembarangan ajukan gugatan cerai. Kalau tidak ada sengketa yang serius, sebaiknya diselesaikan di tingkat keluarga atau kampung,” ujarnya.
Menurut Munir, meningkatnya angka perceraian juga banyak didominasi oleh pasangan muda berusia 25–40 tahun. Ia menilai perlunya edukasi dan pembekalan sebelum pernikahan agar pasangan lebih siap menghadapi dinamika rumah tangga.
“Pemahaman tentang kehidupan berumah tangga itu penting. Harus ada pembekalan sebelum menikah agar tidak kaget menghadapi masalah,” tambahnya.
Meski perkara terus bertambah, Munir menegaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah tetap memprioritaskan upaya mediasi dalam setiap perkara yang masuk. Ia mendorong penyelesaian di tingkat keluarga atau dengan melibatkan aparatur gampong sebagai langkah awal sebelum perkara dibawa ke pengadilan.
“Sekarang ini, masalah sedikit langsung ke pengadilan. Padahal, kalau bisa diselesaikan di kampung, lebih baik begitu,” pungkas Munir.