Banda AcehDaerah

Meugang, Warisan Tradisi Sultan Iskandar Muda yang Mengakar Hingga Kini di Aceh

448
×

Meugang, Warisan Tradisi Sultan Iskandar Muda yang Mengakar Hingga Kini di Aceh

Sebarkan artikel ini
Tradisi Meugang
Meugang, Warisan Tradisi Sultan Iskandar Muda yang Mengakar Hingga Kini di Aceh

LINEAR.CO.ID | BANDA ACEH – Meugang adalah sebuah tradisi memasak dan menyantap daging yang masih dipertahankan hingga kini ditengah kehidupan sosial masyarakat Aceh.

Dalam setahun, biasanya Meugang akan berlangsung 3 kali, yakni sehari sebelum Ramadhan, sehari sebelum dul Fitri, dan sebelum Idul Adha.

Biasanya, usai shalat subuh atau kala fajar menyingsing, penjual daging atau “ureung seu meusie” mulai menggelar lapaknya baik dipasar tradisional atau titik lokasi yang ditetapkan.

Saat bersamaan, pembeli yang biasanya diwakili lelaki sebagai kepala keluarga mulai berdatangan berburu daging guna dibawa pulang untuk dimasak dan selanjutnya disantap bersama keluarga tercinta.

Merujuk sejumlah sumber dan referensi sejarah, tradisi meugang dimulai sejak ratusan tahun lampau atau tepatnya di masa Sultan Iskandar Muda memimpin Kerajaan Aceh Darussalam (1607-1636 M).

Saat itu, Sultan membagikan daging kepada seluruh rakyat, utamanya untuk para yatim dan dhuafa di hari meugang. Hal itu dilakukan sebagai sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya dan rasa terima kasih kepada rakyatnya.

Namun tradisi ini tidak lagi dilakukan Sultan setelah Belanda menduduki Aceh pada tahun 1873. Tapi Meugang tetap masih berlangsung sebagai tradisi yang telah mengakar ditengah masyarakat, bahkan hingga kini.

Konon menurut Denys Lombart dalam bukunya ‘Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada saat Aceh d duduki Belanda, Sejumlah Ulee Balang membagi daging bagi rakyat saat Meugang.

Sejak tahun 2016 lalu, tradisi Meugang telah dimasukkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai warisan budaya tak benda.

Walaupun ekonomi masyarakat di Aceh sedang kurang baik seperti saat ini, namun saat hari Meugang keluarga atau kepala keluarga biasanya akan tetap berusaha agar dapat membawa pulang daging di hari meugang, walau hanya dalam jumlah tak banyak.

Baca Juga :  Polisi Berhasil Ungkap Tabir di Balik Pembunuhan Berencana di Aceh Tenggara

Selain daging sapi, kerbau dan kambing, masyarakat Aceh di hari meugang juga menyembelih ayam atau bebek dihari Meugang.

Sebagian juga memilih ikan berukuran besar sebagai opsi menu masak seperti ikan bandeng (muloh) atau ikan tongkol (sure) maupun udang berukuran besar sebagai pelengkap menu santapan bersama keluarga dan kerabat.

Sebagaimana tradisi yang telah berlaku saban tahun, biasanya pelaksanaan hari meugang dikampung-kampung hanya berlangsung sehari. Sementara di kota, meugang berlangsung selama dua hari.

Namun seiring waktu, kebiasaan itu juga mulai bergeser dimana dikampung hari meugang juga telah berlangsung 2 hari atau oleh sebagian orang menyebutnya meugang ubeut dan meugang rayeuk.

Bahkan, jelang Ramadhan tahun 2023 ini, dibeberapa lokasi di Banda Aceh terpantau para penjual daging walaupun terbatas namun mulai menggelar lapak jualannya sejak Senin (20/3/) atau 3 hari jelang Ramadhan yang jika tak berubah jatuh pada Kamis (23/3) esok hari.

Bahkan menurut informasi, harga daging sapi yang dijual pada Senin di tepi jalan sekitar pasar Ulee Kareng bisa lebih murah sekitar 20 ribu dengan harga jual daging sapi pada hari Selasa kemarin dan hari ini sebagai hari puncak Meugang (Rabu-red).

“Baroe leubeh murah, sikilo mantong meu teumeung 150 ribee. Uroenyo 170 ribe sampe 180 ribee, ta lakee kureung han dipeureumeun teuh le awak mukat sie”, ujar seorang warga dipasar Ulee Kareng saat berbincang dengan wartawan linear.com, Selasa (21/3).

Namun ia menyebut bahwa walaupun lebih murah tapi animo masyarakat masih rendah untuk membeli, karena masyarakat merasa meugang itu hari Selasa dan Rabu atau mulai 2 hari jelang Ramadhan.

Sementara pada Rabu (22/3) di daerah Darussalam, Banda Aceh terpantau harga daging relatif sama seperti sehari sebelumnya, yakni berkisar 170 ribu hingga 180 ribu.

Baca Juga :  DEM Aceh: PP 23/2015 Sudah Jelas, Mengapa WK Rantau Belum Dialihkan?

Demikian juga suasana di pasar Rukoh, Darussalam yang juga terlihat lebih ramai oleh pengunjung yang membeli daging ayam dan bebek atau ikan serta berbagai kebutuhan lain untuk masakan di hari meugang.

Satu hal menarik berkait Meugang yaitu walaupun harga daging lebih mahal dari hari biasa, namun kondisi ini diterima tanpa persoalan oleh masyarakat. Saat Meugang juga tidak berlaku peraturan Menteri Perdagangan terkait ketentuan standarisasi harga daging yang lazim dikeluarkan jelang Ramadhan.

Selain itu, walaupun banyak varian jenis daging sapi yang dijual seperti sapi banteng, sapi Bali dan lainnya. Namun masyarakat Aceh lebih banyak yang memilih varian sapi lokal atau “Leumo Aceh” karena sudah kebiasaan demikian serta tekstur dan kualitas rasa lebih dari varian sapi lainnya yang ada.

“Bak uroe meugang han ek ta pike keu yum, yang peunteng sie beu leupah ta puwoe u rumoh. Hana leu, na meubacut. Tinggal tamita manoek saboh atau ungkoet sure meu dua neuk”, ujar Ridwan, warga Darussalam saat sedang menelusuri lapak penjual daging di pinggir kawasan jantong hate rakyat, Rabu (22/3).

Untuk hari meugang, terlepas kondisi ekonomi sedang baik atau tidak. Namun masyarakat Aceh dengan segala daya akan berupaya memenuhi kebutuhan daging untuk dimasak dan selanjutnya dinikmati bersama keluarga dan kerabat sebelum memasuki Ramdhan.

Potret tradisi meugang yang masih terus berlaku ditengah masyarakat Aceh hingga kini. Membuktikan bahwa tradisi yang diwariskan ratusan tahun lalu oleh Sultan Iskandar Muda tetap mengakar ditengah masyarakat Aceh, ditengah modernisasi yang kian kencang melaju.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *