Lhokseumawe
Beranda | DEM Aceh Tanggapi Surat Menteri ESDM : Kewenangan Migas Aceh Hak Konstitusional, Bukan Sekadar Koordinasi

DEM Aceh Tanggapi Surat Menteri ESDM : Kewenangan Migas Aceh Hak Konstitusional, Bukan Sekadar Koordinasi

LINEAR.CO.ID |  LHOKSEUMAWE – Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh menilai kebijakan yang tertuang dalam Surat Menteri ESDM RI Nomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tertanggal 23 Oktober 2025 bukanlah sesuatu yang perlu diapresiasi secara berlebihan. Surat tersebut memang menegaskan adanya kerja sama antara SKK Migas dan BPMA dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas, namun secara substansi tidak memberikan kewenangan baru bagi Aceh.

Presiden DEM Aceh, Faizar Rianda, menjelaskan bahwa tanpa surat tersebut pun Aceh telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk terlibat dalam pengelolaan migas di wilayahnya, bahkan hingga di atas 12 mil laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.

Dalam PP tersebut, Aceh diberikan kewenangan khusus dalam pengelolaan migas, sesuatu yang tidak dimiliki oleh provinsi lain di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa kegiatan usaha migas di wilayah darat dan laut hingga 12 mil dari garis pantai merupakan kewenangan Pemerintah Aceh. Ini menegaskan bahwa wilayah pengelolaan migas hingga 12 mil laut adalah hak penuh Aceh. Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) menjelaskan bahwa untuk wilayah kerja yang melintasi batas 12 mil laut, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat melakukan pengelolaan bersama (joint management), sehingga Aceh tetap berhak terlibat secara langsung bahkan di luar batas 12 mil laut tersebut.

Sementara itu, Pasal 4 dan Pasal 5 menetapkan bahwa BPMA (Badan Pengelola Migas Aceh) dibentuk sebagai lembaga pelaksana yang mewakili Pemerintah Aceh dalam mengelola sumber daya migas, dengan fungsi yang sejajar dengan SKK Migas di tingkat nasional. Dengan demikian, dasar hukumnya sangat jelas Aceh tidak memerlukan izin atau surat tambahan dari pemerintah pusat untuk terlibat dalam pengelolaan migas di wilayahnya. Keterlibatan tersebut bersifat konstitusional, permanen, dan dijamin secara hukum melalui PP No. 23 Tahun 2015 sebagai bentuk nyata dari kekhususan Aceh dalam pengelolaan sumber daya alamnya.

Seperti yang disampaikan oleh Faizar Rianda, “Dalam surat Nomor T-465/MG.04/MEM.M/2025 tertanggal 23 Oktober 2025, Kementerian ESDM hanya menegaskan tiga hal, yakni koordinasi dan pelaporan kegiatan usaha hulu migas, keikutsertaan dalam kegiatan kehumasan dan fasilitasi perizinan, serta penerimaan salinan persetujuan Plan of Development (PoD). Padahal, tiga poin ini sebenarnya sudah tercakup dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 23 Tahun 2015 yang menegaskan adanya pengelolaan bersama antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat di wilayah kerja yang melintasi batas 12 mil laut.”

Plh Kadis DLH Lhokseumawe Klarifikasi Pergantian Tenaga Kebersihan: Berdasarkan Evaluasi Kinerja

Jika BPMA hanya diberikan tiga kewenangan tersebut koordinasi penyampaian informasi, partisipasi dalam kegiatan kehumasan dan perizinan, serta penerimaan salinan persetujuan PoD, maka perannya menjadi sangat terbatas. BPMA tidak memiliki kewenangan operasional dan teknis untuk mengambil keputusan strategis dalam eksplorasi, eksploitasi, maupun pengawasan kegiatan migas karena seluruh kendali tetap berada pada SKK Migas. Selain itu, BPMA tidak memiliki akses terhadap data produksi dan perhitungan bagi hasil, sehingga transparansi dan akuntabilitas sulit dijamin. Fungsi pengawasan pun hanya bersifat administratif tanpa kewenangan audit atau evaluasi langsung di lapangan.

Akibatnya, kedaulatan energi Aceh berkurang secara praktis karena kekhususan yang dijamin oleh UUPA dan PP Nomor 23 Tahun 2015 hanya tampak secara simbolik. Padahal, yang diharapkan Pemerintah Aceh adalah keterlibatan substansial hingga 200 mil laut bukan sekadar koordinasi administratif sebagaimana tercantum dalam surat Menteri ESDM tersebut.

Sebelumnya, Pemerintah Aceh melalui surat resmi Nomor 500.10.10/2660 tertanggal 11 Maret 2025 telah menyurati Menteri ESDM RI. Surat tersebut berisi permohonan agar BPMA dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan dan pengendalian kegiatan hulu migas di atas 12 mil laut. Dalam surat itu, Pemerintah Aceh menilai bahwa keterlibatan BPMA selama ini masih terbatas pada pemantauan dan pengawasan terhadap laporan produksi migas dari kontraktor kerja sama (KKKS). Pemerintah Aceh berharap agar pengelolaan bersama antara Aceh dan Pemerintah Pusat dapat berjalan lebih efektif dan proporsional.

Namun, surat balasan dari Menteri ESDM pada Oktober 2025 justru menunjukkan bahwa ruang partisipasi Aceh masih sangat terbatas pada aspek administratif koordinasi informasi, kehumasan, dan penerimaan salinan PoD tanpa menyentuh ranah teknis dan komersial pengelolaan migas.

Dewan Energi Mahasiswa Aceh menegaskan bahwa Aceh tidak memerlukan pengakuan simbolik, melainkan implementasi nyata dari kewenangan yang telah dijamin oleh PP Nomor 23 Tahun 2015. Keterlibatan Aceh dalam pengelolaan migas adalah hak konstitusional, permanen, dan dijamin secara hukum bukan hasil kemurahan hati pemerintah pusat.

Teknik Sipil Unimal Mantapkan Kiprah Generasi Muda Lewat Civil Creative 2025

“Pemerintah Aceh sebenarnya menginginkan keterlibatan yang substansial, yakni hak pengelolaan penuh hingga 200 mil laut, bukan sekadar posisi pendamping seremonial. Maka, jika hanya sebatas tiga poin administratif, di mana letak keistimewaan surat tersebut? Apakah itu yang dimaksud sebagai bentuk pengakuan terhadap kekhususan Aceh?” tutup Faizar.

×
×