Aceh Utara
Beranda | September Hitam: Luka Aceh, Luka Bangsa

September Hitam: Luka Aceh, Luka Bangsa

LINEAR.CO.ID | Aceh, 18 September 2025 – Setiap September, bangsa ini kembali dihadapkan pada kenangan kelam pelanggaran hak asasi manusia. Bagi Aceh, bulan ini menjadi pengingat betapa pekatnya darah, air mata, dan ketidakadilan yang menimpa rakyat selama masa konflik.

Aceh pernah dipaksa hidup dalam bayang-bayang senjata. Atas nama stabilitas dan keamanan, rakyat mengalami operasi militer, penghilangan paksa, penyiksaan, hingga pembantaian massal. Luka itu masih terasa, sebab hingga kini kebenaran belum diungkap, keadilan belum ditegakkan, dan hak korban belum sepenuhnya dipulihkan.

Catatan Pelanggaran HAM di Aceh
1. Operasi Militer (DOM 1989–1998), ribuan warga Aceh menjadi korban pembunuhan, penghilangan paksa, pemerkosaan, dan penyiksaan.
2. Penghilangan Paksa, hingga hari ini banyak keluarga tidak mengetahui di mana jasad orang yang mereka cintai.
3. Tragedi Pembantaian & Penembakan Massal Simpang KKA, Jambo Keupok, Idi Cut, dan peristiwa lainnya yang tidak pernah diselesaikan secara hukum.
4. Kekerasan terhadap Perempuan & Anak, perempuan dijadikan alat intimidasi, bahkan menjadi korban pelecehan seksual.
5. Ketidakadilan Hukum, pelaku pelanggaran HAM berat di Aceh tidak pernah diadili secara transparan.

Restorative Justice ala Pemerintah: Setengah Jalan
Pemerintah meluncurkan pendekatan penyelesaian non-yudisial atau restorative justice bagi pelanggaran HAM masa lalu. Pendekatan ini menekankan pada pemulihan korban: rehabilitasi medis, bantuan sosial, pembangunan fasilitas publik di lokasi peristiwa, hingga simbol-simbol pengingat sejarah.

Namun, restorative justice tanpa langkah yudisial justru berisiko menjadi jalan pintas. Korban memang butuh pemulihan, tetapi keadilan tidak bisa ditegakkan tanpa membuka fakta, mengadili pelaku, dan mengakui kebenaran sejarah.

JASA Desak Revisi UUPA Serius, Bukan Hanya Basa-Basi

Reparasi Melalui KKR Aceh: Masih Jauh dari Harapan

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh sejak 2017 telah mengumpulkan lebih dari 5.000 kesaksian korban. Pada 2020, KKR merekomendasikan sekitar 245 korban untuk mendapatkan reparasi mendesak, mulai dari bantuan medis, modal usaha, hingga layanan psikologis.

Namun, hingga kini sebagian besar rekomendasi itu belum terealisasi. Banyak korban hanya menerima janji, sebagian baru dihubungi soal administrasi, tetapi layanan nyata belum hadir. Artinya, negara belum sepenuhnya memenuhi tanggung jawab reparasi yang dijanjikan.

Sekretaris Jenderal FKM Pasee Aceh, Maulana Fikri Saputra, menilai pemerintah selama ini hanya menjadikan isu pelanggaran HAM sebagai agenda seremonial tanpa langkah konkret. Negara terlalu sibuk menampilkan wajah rekonsiliasi, tetapi mengabaikan kewajiban paling mendasar:

mengadili pelaku dan mengungkap kebenaran sejarah. “Selama pelaku masih bebas berkeliaran, negara gagal memberi keadilan bagi korban. Restorative justice tanpa yudisial hanyalah kosmetik politik,” ujar Mol dengan tegas.

Haji Uma Menyambut Jenazah PMI Aceh Utara di Kuala Namu, BP3MI Aceh Ikut Bantu Armada

Melalui momentum September Hitam, FKM Pasee Aceh menuntut agar pemerintah segera menindaklanjuti rekomendasi KKR Aceh, mempercepat realisasi reparasi mendesak, dan membuka akses publik terhadap arsip pelanggaran HAM. Selain itu, Komnas HAM tidak boleh lagi berperan sebagai penonton, tetapi harus menjalankan mandatnya untuk mendorong pengungkapan kebenaran dan penegakan hukum. “Jangan lagi berlindung di balik jargon rekonsiliasi, jalankan keadilan tanpa pandang bulu,” tegas Maulana Fikri Saputra.

Meski dikecewakan berkali-kali, masyarakat Aceh tetap menyimpan harapan. Mereka menunggu hari ketika negara berani membuka kebenaran, mengadili pelaku, dan memenuhi hak-hak korban. Bagi rakyat Aceh, keadilan bukan sekadar jargon politik, melainkan kebutuhan nyata untuk mengakhiri trauma dan membangun masa depan yang bermartabat.

September Hitam adalah pengingat bahwa luka Aceh adalah luka bangsa. Menutup mata dari kebenaran berarti mengkhianati sejarah. Karena itu, kebenaran harus diungkap, keadilan harus ditegakkan, dan hak korban harus dipulihkan. Hanya dengan langkah itu, bangsa ini bisa benar-benar berdamai dengan masa lalunya.

FKM Pasee Aceh menegaskan:
• Keadilan untuk korban
• Kebenaran untuk sejarah
• Tidak ada lagi impunitas

“Rekonsiliasi tanpa keadilan hanyalah ilusi. Luka Aceh tidak akan sembuh dengan diam, tetapi dengan kebenaran yang diungkap, keadilan yang ditegakkan, dan hak korban yang dipulihkan.”
tutup Maulana Fikri Saputra.

SPPG Diluncurkan di Matang Kuli, Generasi Sehat Ekonomi Kuat

×
×