LINEAR.CO.ID | LHOKSEUMAWE – Baru-baru ini, perusahaan energi asal Uni Emirat Arab, Mubadala Energy, menemukan gas berskala besar di lepas Pantai Aceh Utara dan Lhokseumawe.
Lalu muncul semacam euforia: Inilah berkah, inilah obat mujarab guna mengatasi kemiskinan di Aceh.
Lantaran lokasi temuan di Blok Andaman itu di atas 12 mil laut, sesuai regulasi, maka menjadi wewenang SKK Migas.
“Aceh mendapatkan 30%, sementara pemerintah pusat 70%,’ kata Kepala Badan Pengelola Minyak dan Gas Aceh (BPMA), Nasri Djalal.”
Masalah besaran bagi hasil ini dan sejauh mana Aceh mendapatkan keuntungan, merupakan hal penting.
Nasri menekankan hal itu, agar masalah ketidakadilan yang pernah muncul di tahun 1970-an tidak terulang.
Dilansir dari bbcindonesia.com, pada 1970-an, kilang Arun adalah salah satu produsen LNG terbesar di dunia. Operasinya dihentikan pada 2015 karena cadangan gas alamnya menipis.
Ladang gas Arun dikelola Mobil Oil Indonesia, anak perusahaan ExxonMobil.
Kemunculan GAM pada 1976 tak lepas dari keberadaan PT Arun dan ExxonMobil. Saat itu, seluruh hasil keuntungan, semuanya dibawa ke Jakarta.
ExxonMobil juga dituduh melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil, dengan melibatkan TNI.
Dilatari persoalan seperti inilah, DPR Aceh merevisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Tujuannya, demi memberi kewenangan pengelolaan Migas yang lebih besar kepada Aceh, seperti akses wilayah laut yang lebih luas dan potensi bagi hasil yang lebih adil.
Dapatkah industri migas menjadi solusi masalah pengangguran dan kemiskinan di Aceh?