LINEAR.CO.ID | LHOKSEUMAWE – Dua puluh tahun lalu, Aceh menutup kitab perangnya. Di Helsinki, pena mengalirkan tinta, membasuh senjata yang berkarat oleh darah dan amarah. Peluru berhenti berbisik, meriam diam di peraduan besi, dan air mata mencoba menemukan alasan untuk kering. Namun, di sela-sela huruf yang diukir di meja perundingan, tersimpan janji yang kini membusuk di lemari negara.
Kertas itu masih putih, tapi maknanya telah menguning, ia tetap mengembara tanpa alamat pulang. Karena waktu menggerogoti pasal-pasal yang tak pernah dihidupkan.
Aceh belajar memelihara damai seperti menjaga taman tanpa pupuk.
Bunga memang tumbuh, tapi kelopaknya layu sebelum mekar sempurna.
Aceh belajar percaya seperti menanam benih di tanah retak. Akar mencari air, tapi hanya menemukan debu.
Aceh belajar bersabar seperti memandang pintu yang tak pernah dibuka.
Di baliknya, suara janji terus bergaung, namun tak pernah keluar.
Setiap kali perayaan damai digelar, MoU itu tetap di rak—terpajang rapi, seolah rakyat cukup kenyang hanya dengan kata “selesai”.
Hari ini, di usia dua dekade damai, Aceh berdiri di antara rasa syukur dan kecewa. Syukur karena dentuman senjata telah lama pergi, kecewa karena gema janji tetap asing di telinga.
Helsinki kini terasa seperti negeri dongeng: tempat di mana kata-kata lahir untuk mati muda. Sebab di mata penguasa, damai dianggap cukup ketika peluru berhenti, meski hati rakyat masih ditembaki oleh ingkar yang tak bersuara.
Selamat merayakan damai yang separuh jalan — semoga janji tak ikut mati tua, sebab hari ini kita merayakan umur, bukan ketuntasan!