BeritaDaerah

18 Tahun Perdamaian Aceh, Kontras Aceh Sebut Korban Konflik Belum Merasakan Damai

341
×

18 Tahun Perdamaian Aceh, Kontras Aceh Sebut Korban Konflik Belum Merasakan Damai

Sebarkan artikel ini
Koordinator Kontras Aceh Azharul Husna dan Mantan Juru Runding GAm Munawar Liza, foto: linear.co.id

LINEAR.CO.ID | BANDA ACEH Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Komisi Untuk Orang Hilang (KontraS) Aceh Azharul Husna menyampaikan korban konflik aceh belum mendapat perdamaian sepenuhnya dari negara, meski perdamaian Aceh sudah 18 tahun.

Hal itu diungkapkan Husna dalam diskusi Napak Tilas di kantor Kontras Aceh pada Selasa, (15/8/2023). Menurutnya penyelesaian non yudisial yang dilakukan oleh negara terhadap para korban tidak menyeluruh secara pendataan maupun secara penyalurun hak-hak korban.

Baca Juga: Berikut Tiga Poin Penting Hasil Audensi Aktivis Islam Bersama MPU Subulussalam

“Ini sebenarnya sangat disayangkan, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres Nomor 17 tahun 2022 yang masa kerjanya pendek tiga bulan. Lalu  di tahun 2023 keluar impres, nah sayangnya data BAP Komnas HAM itu hanya 97 data korban HAM berat itu hanya sempling bahwa adanya pelanggaran HAM berat tidak semua terdata, lalu bagaimana nasib korban yang lain,” ujarnya.

Baca Juga :  Polisi Berhasil Ungkap Tabir di Balik Pembunuhan Berencana di Aceh Tenggara

Husna menerangkan 18 tahun perdamaian Aceh Kontras Aceh tidak berhenti mendata dan mengadvokasi korban-korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang masi luput dri perhatian negara.

Ia juga melanjutkan, Kontras membuat acara Napak Tilas pada 15 Agustus ini untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa Ham berat masa lalu yang masi belum terselesaikan sampai sekarang. Napak Tilas berkunjung ke beberapa beberapa tempat meliputi, Masjid Raya Baiturahman, Bekas Penjara Keudah, Taman Sulthanah Safiatuddin, dan UIN Ar-Raniry.

Baca Juga: Terkait Penguatan Syariat Islam, Aktivis Islam Akan Berkunjung ke MPU Subulussalam

Sementara itu Mantan Juru Runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Munawar Liza Zainal menyampaikan, MoU Helsinky seperti sebuah masakan yang diawal-awalnya hangat kemudian hanya menjadi perjanjian tertulis diatas kertas.

“MoU itu seperti masakan diawal-awal tahun penandatanganan itu masi hangat sekarang sudah dingin, jadi semakin jauh dari penandatanganannya semakin hilang arah. Jadi sepertinya kesepatakan itu mulai tak dihargai lagi, jadi keistimewaannya pun sedikit demi sedikit hilang dan tidak bisa dirasakan,” jelasnya.

Baca Juga :  Polisi Berhasil Ungkap Tabir di Balik Pembunuhan Berencana di Aceh Tenggara

Menurut Munawar, hal utama dari perdamaian itu sendiri adalah kesejahteraan terhadap masyarakat Aceh sendiri. Tetapi nyatanya hal tersebut tidak ada dalam kehisupan sehari-hari masyarakat Aceh.” Contoh ketersediaan minyak dan gas di Aceh masi sulit didapatkan, mulai dari antri gas rumah tangga hingga antri di POM bensin. Kita sudah menjalani perdamaian tapi tidak ada kesejahteraan,” paparnya.

Baca Juga: Kota Subulussalam di Nilai Hanya Setengah Hati Menuju Kota Santri

Lebih lanjut Munawar menambahkan  keresahannya terhadap kaum muda yang tidak memahami sejarah Aceh dan melupakan identitas ke Acehannya.

“Ada satu keresahan terkait kaum muda yang tidak banyak memahami sejarah dan konflik Aceh.sehingga identitas ke Acehan yang kita bangun sesudah konflik itu tidak banyak terjaga sehingga perdamaian tidak dikelola dengan baik,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *