LINEAR.CO.ID | LHOKSEUMAWE – Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh ikut menanggapi persoalan yang terjadi terkait dengan Penutupan Pengeboran Ilegal di Desa Alue Canang, Kecamatan Birem Bayeun, Aceh Timur.
Sebelumnya, Polisi menutup pengeboran minyak ilegal, yang mengakibatkan masyarakat melakukan demo menolak penutupan sumur minyak tersebut karena sudah menjadi mata pencaharian mereka.
Menanggapi hal tersebut, Fauzi Syam, staf Divisi Kajian Isu Energi, Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh, mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh aparat kepolisian dari aspek hukum sudah sesuai prosedur, yaitu menutup sesuatu yang ilegal.
“Jika kita merujuk pada UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kedua undang-undang ini mengatur penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi dengan berlandaskan pada ekonomi kerakyatan, keadilan, keseimbangan, pemerataan, dan kemakmuran bersama, serta menegaskan bahwa seluruh hasil kekayaan alam harus dikelola oleh negara dan tidak boleh dilakukan secara ilegal tanpa melibatkan pihak terkait.” Jelas Fauzi.
Tetapi menurut DEM Aceh, kasus yang terjadi di Aceh Timur ini khusunya desa Alue Canang, jika ditelaah lebih dalam lagi, kita akan melihat bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat tidak sepenuhnya salah, karena pengelolaan kekayaan alam di wilayah tersebut sejauh ini belum mampu menyejahterakan masyarakat sekitar. Bahkan, mereka tidak merasakan manfaat dari kekayaan alam yang ada di tanah mereka.
Akibatnya, masyarakat tetap melakukan pengeboran secara mandiri sejak tahun 2011. hal ini bisa di lihat Masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, seperti pada tahun 2022 terdapat 13,26% masyarakat miskin dan kemiskinan ekstrem sebanyak 2,86% di Kabupaten Aceh Timur.
Faktor ekonomi menjadi alasan utama yang memaksa mereka melakukan praktik tersebut. Walaupun masyarakat mengetahui risiko yang mereka hadapi, seperti kejadian ledakan dan kebakaran pada 30 Mei 2024 lalu, serta 8 kebakaran dan ledakan di sumur minyak tersebut yang terjadi sejak tahun 2016 hingga 2022 dan telah memakan banyak korban jiwa, mereka tetap melakukan pengeboran ilegal. Ini karena mereka tidak memiliki pilihan lain selain tetap melakukannya untuk menghidupi keluarga.
Seharusnya, Pemerintah Aceh bisa lebih adil dalam pengelolaan tambang minyak tersebut, seperti yang tertuang dalam Qanun No. 4 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Aceh. Qanun ini membahas tentang Ketentuan Umum, Tanggung Jawab Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Energi di Aceh, Inventarisasi dan Pemetaan Energi, Peran Badan Usaha Milik Aceh dalam Rencana Umum Energi Aceh, Sistematika Rencana Umum Energi Aceh, Jangka Waktu dan Peninjauan Kembali, Ketentuan Penyidikan, Sanksi Administratif, serta Ketentuan Penutup.
“Sejauh ini masyarakat menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah ilegal dan penuh risiko. Namun, karena tidak ada mata pencaharian lain untuk menyambung hidup, mereka tetap melakukannya. Lahan di sekitar wilayah tersebut pun sudah tidak produktif untuk pertanian.” Pungkas Fauzi Syam.
Aktivitas tersebut ilegal karena melanggar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam, serta Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1285.K/30/M.PE/1996 tanggal 26 Agustus 1996 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur-sumur Tua. Berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan bahwa “setiap orang yang melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi tanpa kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000 (enam puluh miliar rupiah).”
DEM Aceh berharap, agar pemerintah daerah dan Instansi Terkait bisa mengambil keputusan yang tepat dalam menyikapi permasalahan ini, mengingat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 yang menjelaskan tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh. Peraturan ini mengatur bahwa pengelolaan sumber daya alam tersebut dilakukan bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Aceh. Selain itu, qanun pengelolaan tambang rakyat perlu segera dirampungkan agar tambang minyak dan kekayaan alam lainnya bisa dikelola dengan baik oleh pemerintah daerah serta instansi terkait bersama elemen masyarakat, sehingga sumber daya alam Aceh dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
“Seharusnya, jika sumur minyak tersebut dikelola dengan baik, maka sangat berpotensi meningkatkan perekonomian daerah, terutama masyarakat sekitar, sehingga dapat menekan angka kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Sangat disayangkan jika sumur minyak tersebut ditutup tanpa mempertimbangkan aspek lainnya dan masyarakat yang menggantungkan hidup mereka di tempat tersebut selama bertahun-tahun”. Tutupnya.